Senin, 23 Desember 2013

Lukisan dan Kanvas

Terkisahlah sebuah lukisan indah yang sudah tak terawat. Lukisan yang sudah berumur tua. Lukisan yang telah pudar warnanya. Lukisan yang sudah tak menarik untuk dilihat. Lukisan indah yang sekarang menjadi salah satu barang di pasar loak.

Namun, tak disangka-sangka, seorang lelaki  yang sedang berjalan-jalan di pasar loak itu melihat lukisan tadi dan entah apa yang ia temukan, ia terpukau di depan lukisan itu. Padahal, jika dilihat dari kacamata orang lain, lukisan tadi sangatlah buruk dan tak bernilai lagi. Tetapi lelaki tadi terpaku di tempatnya berdiri dan terpukau melihat lukisan itu.

Setelah memandanginya bermenit-menit, ia memutuskan untuk membeli lukisan tadi. Harga yang diucapkan oleh sang penjual sangatlah murah untuk ukuran lukisan 60 cm x 90 cm. Hal itu membuat lelaki tadi sontak tercengang dan menggelengkan kepalanya. Namun, tanpa banyak komentar, ia tetap membayar lukisan itu.

Dibawanya pulang dan ditaruhnya di ruang koleksi lukisan miliknya. Entah apa yang sedang ada di benaknya, terlintas pikiran untuk memulas kembali lukisan yang telah pudar itu. Lelaki yang ternyata adalah seorang seniman ini segera menyiapkan palet, kuas, cat, dan alat-alat lukis lainnya. Dipindahkannya lukisan pudar tadi ke tempat biasanya ia melukis. 

Lukisan tua ini menjadi amat sangat gembira mengetahui bahwa ada seorang yang tak dikenalnya bermaksud baik untuk memulasnya kembali. Ia segera memberitahu sang kanvas agar bersiap dan membuka pori-porinya untuk menyerap cat-cat yang akan dipulaskan oleh seniman laki-laki tadi.

Kanvas yang umurnya jauh lebih tua daripada sang lukisan tercengang mendengar perkataan sang lukisan. Bagaimana bisa kanvas yang sudah tua ini dipaksa untuk membuka seluruh pori-pori di permukaannya, sedangkan untuk membuka satu per sepuluh dari bagian permukaannya saja sudah sangat susah. Kanvas ini sudah kaku. Permukaannya telah terekatkan oleh cat yang dahulu pernah dipulaskan. Namun, sang lukisan tak peduli dan terus memaksa sang kanvas untuk membuka pori-porinya.

Tak lama kemudian, sang seniman tadi datang dengan perlengkapan melukis di tangannya. Setelah semua alat yang diperlukan tersedia, mulailah sedikit demi sedikit dituangkannya cat ke atas palet. Di campurkannya warna satu dengan warna lain sehingga membentuk warna baru.

Dengan perlahan, diulaskannyalah kuas itu ke permukaan kanvas. Kanvas pun dengan susah payah membuka pori-porinya dan menyerap semua warna yang diberikan oleh sang seniman tadi. Namun, sekuat-kuatnya ia membuka pori-porinya, hanya kurang lebih dua puluh persen cat yang dipulaskan yang dapat diserap olehnya.

Satu jam berlalu. Sang seniman tersenyum melihat lukisan basah yang baru saja dipulasnya tadi. Menit demi menit berlalu, sang seniman masih tetap menunggu lukisan itu kering. Pada menit pertama, ke dua, dan ke tiga, ia melihat semua cat yang baru dipulaskannya terserap dan mulai kering. Di menit kesepuluh, ia mulai melihat beberapa bagian dari lukisan mengering, namun, tak ada warna-warna yang terserap.

Harapannya mulai terkikis secara perlahan. Di menit ke dua belas, setengah dari lukisan tersebut telah mengering, tetapi yang kering dan menyerap cat barunya itu hanya sekitar lima persen. Harapan sang seniman semakin terkikis. Di menit ke enam belas, lukisan itu sudah kering tiga per empatnya. Cat yang terserap pun hanya sekitar tujuh persen. Harapan sang seniman bersisa sepuluh persen. Sampai di menit ke dua puluh, keseluruhan lukisan telah kering, namun, cat yang terserap hanya sepuluh persen. 

Harapan sang seniman pupus sudah. Dibereskannya semua perlengkapan melukisnya, dan dipindahkannya lukisan yang baru ia pulas tadi ke ruang koleksi. Setelah dipajang, tampaklah lukisan itu belang warnanya. Akibat penyerapan cat yang tak sempurna, dan hanya di beberapa spot

Walau tak berhasil sepenuhnya, usaha sang seniman tetap membuahkan hasil. Hasil untuk mencerahkan sedikit lukisan tadi. Lukisan yang menyadari bahwa kanvasnya tak dapat menyerap keseluruhan cat yang baru dipulaskan oleh sang seniman hanya tersenyum tipis. Ia ingin warnanya menjadi cerah seperti dahulu, namun, ia juga tak ingin menyakiti orang lain atas keegoisannya. Setelah mengucap terima kasih kepada sang kanvas, ia kembali muram. Bukan muram karena warnanya, tetapi ia muram karena ia bingung bagaimana caranya mengucapkan terima kasih kepada sang seniman yang telah berusaha untuk mencerahkannya lagi.

Tak berapa lama, lukisan tua itu kembali tersenyum lebar tanpa kemuraman sedikit pun. Ia bangga menjadi dirinya. Walaupun warnanya kusam dan belang, ia tetap senang. Karena ia tetap menjadi ia tanpa harus memaksakan keinginannya dan menyakiti orang lain.

 --

Do you understand the story? :)