Senin, 22 Desember 2014

Kembali [1]

Nama gue Talitha Raissa Amanda, gue sekarang sekolah di salah satu SMP  Negeri terkenal di Kota Jakarta, kelas akhir, lo bisa manggil gue Litha by the way. Gue punya tiga orang sahabat yang emang udah deket banget sejak kita kelas VIII, yang pertama namana Sekar Pramasha Putri, panggilannya Sekar. Yang kedua namanya Fauzan Putra Rahardja, dia lebih suka dipanggil Raha, gue gangerti kenapa dia lebih suka dipanggil pake nama belakangnya yang setau gue itu nama keluarga dia. Yang terakhir Camellia Tania Khoerunnisa, panggilannya Amel. Gue sekelas sama Amel, sedangkan Sekar sekelas sama Raha. Oh ya, gue punya seorang pacar, well, dia cukup ganteng, famous, dan banyak penggemarnya, dari kelas awal sampai yang seangkatan juga ada, namanya Rizqy Muhammad Bayu Wijaya, panggilannya Rizqy. Sekian.

***

KRIIIINNGG, TING TONG TING TONG TING TONG
Suara bel pulang terdengar nyaring, anak-anak dengan sigap membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. 
"Baiklah, cukup sekian pelajaran hari ini, berdoa dahulu baru boleh pulang." kata Pak Ardiman, guru Ilmu Pengetahuan Sosial.
"Duduk siap! Sebelum pulang, mari kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa, dipersilakan." terdengar suara lantang Aqiil. 
"Berdoa dicukupkan! Beri salam!" "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." 
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." jawab Pak Ardiman.
Setelah itu, anak-anak segera berebut untuk keluar kelas. Menghirup udara segar, mencari pencerahan dari buteknya IPS. Di kelas ini tinggal gue dan Amel, menunggu Sekar dan Raha nyamperin.
"Mel." panggil gue.
"Mmm?" sahutnya.
"Gue putus aja gitu, ya? Cape gue dianggurin mulu sama Rizqy. Gila aja ini udah masuk bulan keempat gue dianggurin sama dia. Kasih kabar seminggu sekali, ketemu kaya pura-pura galiat, yekali gue apaan emang." tanya gue meminta pendapat.
"Lo yakin? Awas nyesel. Gue dukung lo aja deh, apapun keputusan lo." jawabnya.
"Hmm, gatau ini gue harus apa lagi.." lanjut gue yang kemudian tenggelam dalam lamunan gue sendiri.
"WOOOYY!! Lamun aja mele, yu ah cabut ke tempat les, ntar telat lagi." tiba-tiba Raha udah ada di depan muka gue, anjrit, untung gue kaga punya penyakit jantung yang parah.
"Yu ah cabut, lamun mele lo, Lith, sambet baru tau rasa deh." ujar Sekar yang langsung berlalu menarik Amel keluar kelas.
"Setan lo! Untung gue kaga jantungan kampret!" umpat gue ke Raha, diikuti tawanya yang terdengar puas. 
Gue dan ketiga sahabat gue pun berlalu dan segera menuju tempat les yang jaraknya gajauh-jauh amat dari sekolah gue, yaa, cuman 5 menit nyampe lah kalo jalan kaki.

Gue baru mau buka pintu kelas gue di tempat les saat ada sesuatu nahan tangan gue yang satu lagi, fix jantung gue naik ke kerongkongan, mau keluar dari badan gue. Gue ngebalik. Rizkia. Temen sekelasnya Rizqy. Temen sekelas gue juga waktu kelas VIII. Ketiga sahabat gue yang tadinya udah mau masuk kelas gajadi masuk, cuman berdiri depan pintu, wait, listen, and see what'll happen. Mereka tau, gue gadeket-deket banget sama Rizkia. So, mereka mewanti-wanti apa yang bakal Rizkia omongin ke gue.
"Apaan, Ki? Bikin kaget njrit." ujar gue.
"Lo masih sama Rizqy kan, Lith? Belom putus kan?" tanyanya.
"Iyelah masih, belom, belom putus. Cuman yaa, gitu aja. Gantung gajelas, sayang gasayang, kangen setengah-setengah, khawatir gajelas, ikhlas ga ikhlas mau ngelepasin. Gada kabar mele." jawab gue dengan suara yang makin lama makin pelan.
"Sumpah lo masih pacaran sama Rizqy? Njir, sekelas gue lagi tuh lagi ngomongin Rizqy lagi deket sama kakaknya Bram, dan mereka tuh kayanya deket banget. Lo beneran masih pacaran sama dia?" 
Deg. Omongan Rizkia berhasil buat gue, Sekar, Raha, dan Amel bertatap-tatap dengan tatapan kaget. Leher gue kaya yang dicekek, hati gue kaya yang ditusuk-tusuk, well, gue emang akhir-akhir ini denger gossip itu, tapi gue gamau percaya dulu. Sampe. Rizkia bilang ini semua. Dengan satu tarikan nafas yang cukup berat, gue mencari kekuatan buat ngomong.
"Iya, Ki, gue masih sama Rizqy. Hehe. Thanks infonya, gue duluan." jawab gue yang langsung menerobos masuk ke kelas dengan tatapan kosong.

"Litha, Lith, Litha, ih, Lithaaa.." panggil Sekar seraya mengguncang-guncangkan badan gue. Gue denger kok, gue denger dari tadi Sekar, Amel, sama Raha manggi-manggil gue dengan nada panik. Gue masih memilih bungkam, berusaha mencerna dan mencari keputusan yang tepat setelah pembicaraan singkat dengan Rizkia tadi. 
"Litha.. Please ngomong, kita butuh kepastian kalo lo ga kenapa-napa.." ujar Raha lembut.
'Anjrit, you gotta be kidding me, Raha. Gakenapa-napa kata lo? Pala lo peyang gue gakenapa-napa. Gossip yang gamau gue percaya sekarang beneran jadi kenyataan? Nightmare ini mah nightmare, settaaaaannn!!!' umpat gue dalam hati.
"Hem, iya gue gakenapa-napa. Gue besok mau minta putus aja sama Rizqy. Gue cape juga lagian, semenjak kenaikan kelas dia kaya ganganggep gue, cape gue, percuma pacaran 7 bulan kalo hampir setengah waktu itu gue dianggurin. Mending jomblo, kalem, woles, enjoy. Yega?" kata gue dengan nada yang dibuat sewoles mungkin, padahal dalam hati dari tadi gue udah pengen teriak-teriak, menangis sekejer-kejernya, dan memaki bahwa semuanya gabener.
"ASLIAN LO?" tanya Sekar, Amel, dan Raha kompak.
"Apasi sosoan kompak kalian, iya. Sumpahan, anter gue siapapun besok nyari Rizqy." lanjut gue.
"Okey, tar gue anter lo. Jangan sampe nyesel ya." ujar Amel, dia emang orang yang paling deket sama Rizqy diantara sahabat-sahabat gue.
"Hm.." sahut gue dengan senyum tipis yang dipaksakan.

***

Sesudah bel pulang terdengar, Amel menepati janjinya. Gue sama Amel nyari Rizqy sekarang. Deg. Mata gue menangkap sesosok orang yang sedang kami cari. Amel kayanya masih celingukan nyari Rizqy, gue diem aja, gue gamau bilang kalo gue udah nemu Rizqy, gue belom siap sebenernya.
"NAH! Tuh orangnya, buru bilang, Lith, daripada lo galau galau terus, lo gabakal bisa mendem gitu terus. Lo juga punya perasaan kan." ujar Amel cepat.
"Gue, gue takut bilangnya Mel, lo yakin gue bilang aja ini?" tanya gue ragu.
"Iyalah, udah bilang aja sana." lanjut Amel.
"T.. T.. Tapi Mel, gue takut sumpah gaberani gue-"
"Woy, Qy! Sini bentar, Litha mo ngomong! Buruan sini!" panggil Amel.
'Settaaann, gue harus apa sekarang. Okey, tenang Lith, tenang, ini kaya ngobrol biasa, lo ngomong to the point aja. Cepet beres, lo cepet pulang. Sip.' ujar gue dalam hati.
"Whut whut, hey Lith, kenapa?" tanya Rizqy dengan nada cerianya seperti biasa, dilengkapi senyum indah yang terukir di wajahnya.
'Kampret, ni cowo makin ganteng aja, elah.' sambung gue dalam hati.
"Oy, Litha duh, kok malah ngelamun sih.." lanjut Rizqy.
"Eh, duh, sorry. Eum.. Qy, gue mau bilang, kayanya.. Hft, duh.." ujar gue terbata-bata.
"Yaelah, apadeh Lithaa, kenapaa? Woles aja yellah, biasanya juga woles kaann.." kata Rizqy gemas menunggu omongan gue yang keputus-putus mele.
"Hft, okey. Qy, kayanya kita udahan sampe sini aja ya, kitanya juga udah banyak berubah, kayanya temenan better deh, Qy. Kita masi tetep bisa deket kan?" kata gue dengan satu tarikan nafas.
'Gaaaa anjrit, LO yang banyak berubah, Qy, eloooooo ya Tuhaann..'  hati gue menjerit.

Rizqy memandangi gue dengan tatapan gapercaya, ngga, itu bukan tatapan gapercaya, itu tatapannya yang kaya biasa, tatapannya yang selalu dia pake buat ngeliat orang-orang, tatapannya ngga ada tatapan sedih atau semacamnya. Tatapannya......... Kaya yang biasa aja, malah lebih ke arah seneng. Dia diem sebentar. Gue diem, ngeliatin dia bakal ngomong apa. Amel udah menjauh dari tadi, gajauh banget, masih bisa mendengar percakapan kita. Setelah satu menit diam, gue liat Rizqy menarik napas, well, dia bakal ngomong apa.
"Iya okey, gapapa,  maafin kalo gue banyak berubah, maafin gue gabisa jadi yang terbaik buat lo, kita tetep temenan ya?" kata Rizqy.
"Yes of course, kita tetep temenan.. Okey gue duluan ya, Qy, thanks a lot buat semuanya yang udah lo kasih ke gue selama ini. Bye, Qy. Ayo, Mel, balik." ujar gue yang langsung ngacir.

Dari ujung mata, gue bisa liat Amel ber-high five tanda perpisahan dengan Rizqy, dan galama Amel udah ada di samping gue. Shit, gue ngerasa mata gue panas, apa iya ini air mata? Gue gamungkin nangis, gue yang mutusin dia, dianya aja biasa-biasa aja, kok gue nangis. Tanpa terasa cairan bening itu mengalir di pipi gue, dan jatuh membasahi lengan seragam gue. Ya Tuhan.. Gue beneran nangis?? Gamungkin, Tuhan.. Tuhan, bantu gue cepet ngelupain cowo itu..

***

to be continued. 

***
 
beneran yang inimah tbc, dilanjutin.
maaf kalo gadapet feelnya, gue pusing ini.
bentaran ya.

Senin, 14 Juli 2014

To Be Continued Itu Gapernah Ada

Hai hahah. Ada nih yang maksa gue update lg. Sooo, okay gue update.
Lo baca cerita gue yang sebelumnya? To be continued ya dia bilang?
Haha, percaya lo?
Bersambung itu ga ada. 
Kalo cerita udah mentok satu episode, disambung episode lain, ceritanya gakan sama.
Berikut w males update sebenernya, yaudalahya, cerita itu gakan bersambung. Sekilas info aja sih haha.
Kalo w mood w update yang beneran okay.
Ohya, lo jangan pada percaya itu cerita.
Hanya fiktif belaka!-_-

See ya.

Jumat, 20 Juni 2014

Easy Come, But... I Don't Know

Qika baru saja putus dengan pacarnya, hubungan mereka sudah terjalin selama 10 bulan. Entah apa yang terjadi, Qika merasakan sesuatu yang tidak seperti biasanya, Qika ilfeel dengan Romeo. Qika tak lagi ingin berlama-lama menjalin hubungan tanpa perasaan, yang ia tau apabila tetap dilanjutkan malah bikin Romeo lebih sakit. So, she decided to break-up with him

Sudah hampir 1 minggu setelah Qika dan Romeo putus. Bukannya membuat Qika memberi simpati padanya, Romeo malah membuat Qika semakin ilfeel dengannya. Romeo mulai menjelek-jelekkan Qika. Salah satu alasan mengapa Qika memilih untuk putus dengan Romeo adalah itu, Romeo gabisa ngertiin Qika. Dan yang paling parahnya Romeo berfikir kalau Qika hanya untuk dia, Qika hanya boleh main dengan dia. Romeo melarang Qika untuk bermain dengan sahabatnya, Putri, dengan alasan kalau Qika sudah main dengan Putri, ia pasti akan melupakan Romeo.

Oh hell yea, please, siapa sih yang mau di larang main sama sahabatnya sendiri, sahabat deket, yang always there to listen your story today, Qika muak dengan kelakuan Romeo. Jelas saja dia lebih memilih Putri daripada Romeo.

16 hari sudah Qika ngejomblo. Dia ngenjoy masa jomblonya, enjoy banget malah, ya walaupun kadang masih suka nangis bombay kangen sama Romeo. Tapi hanya untuk setetes dua tetes air mata saja, karena Qika putus sama Romeo hatinya udah flat. Haha.

***

Sabtu ini Qika ada kerja kelompok dengan teman-temannya, Sabtu ini hari ke-17. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 tepat, tapi teman-temannya baru 4 yang berkumpul, kurang 2 orang lagi, tidak lama kemudian, Rizqy dan Putra dateng, nyamperin mereka. Tapi sayangnya mereka bukan kelompok Qika.

"Oy, ngapain??" sapa Rizqy.
"Hahah, kagak ngapa-ngapain, nungguin Fathur sama Rahma aja. Mau ngerjain tugas bahasa Inggris, kelompok lu udah, Qy?" jawab Lia.
"Egile, rajin amat dah lu pade, kagak, mana mungkin kelompok gua udah." sahut Rizqy.

Galama kemudian, Rizqy dan Putra asyik ngobrol dengan yang lainnya, sedangkan Qika hanya melamun memperhatikan Rizqy.
'Gile, sejak kapan dia seganteng ini..' pikir Qika.
Qika mulai berjalan-jalan di pikirannya sendiri, wondering kalo dia sama Rizqy bisa jadian. Qika mengutak-atik handphone-nya dengan tatapan kosong dan pikirannya masih melayang-layang. 

TIK. TOK. TIK. TOK. TIK. TOK.
Waktu terus berjalan. Jam 10 mereka full-team, dan ready to go. Rizqy dan Putra pamit untuk pergi ke tempat mereka nongkrong. Dan dijalan, Qika menyenggol-nyenggol Lia terus.
"Li. Gua move on, Li. Gua move on. Hahaha." 
"Hah, ke siapa dah, jangan bilang..."
"Haha, tau deh ah, Li, gila ganteng banget."
"Mulai lu, Ka, udah ah, fokus tugas dulu nih mabre."

Sesampainya di lokasi, mereka langsung mengerjakan tugas mereka, dan pukul 1 siang mereka selesai, tapi sayang, sekarang hujan deras. Terpaksa mereka pulang hujan-hujanan.

***

Malam minggu ini Qika gakemana-mana, lebih memilih duduk di depan laptopnya seraya membuka beberapa tab di internet, tab-tab social media semua. Dari mulai facebook sampe twitter dan tab music downloader juga. 

Galama ada notif chat di FB, dari Rizqy. Pas dibuka, ternyata balesan dari chat yang lama banget. Eh, ternyata malah keterusan, sampe tukeran nomer, dan mereka smsan. Semua hal diceritain, dari kecengan baru Qika yang harkos sampe cerita Rizqy yang katanya baru putus dari pacarnya.

Hari demi hari Qika dan Rizqy smsan, tapi di sekolah dan di kelas, mereka tetep act like nothing happenned. Hari ini hari keempat sudah Qika dan Rizqy smsan, pagi ini, saat Qika udah otw ke sekolah, tiba-tiba ada sms dari Rizqy.
'Tumben banget pagi-pagi udah nge-sms aja, biasanya juga sms semalem dibalesnya kalo pas udah pulang sekolah.' pikir Qika.
Dibukanya sms itu dan.. Text yang ada di dalamnya berhasil membuat Qika terkejut. Sms itu bertuliskan, 'Qik, lo masi nungguin cowo kecengan lo yang lo bilang harkos itu ngga?'
Otak Qika bekerja semaksimal mungkin, apa maksud pesan itu, dan kesimpulan terakhir menyebutkan, 'Jangan bilang, Rizqy tau kalo gua ngeceng dia. Mampus gua, mampus, mampus, mampuuuuss.'

Dengan takut-takut, dibalasnya sms Rizqy tadi, 'Masih lah, lukate gua paan, moveon gasegampang itu yakali. Napa emang?'
Lima menit berlalu, Qika masih takut menunggu balasan sms dari Rizqy. 
Tring.
Terdengar notif sms masuk. Diambilnya handphone-nya, dimasukkannya password, dan dibukanya message-list-nya. Rizqy.
Dibukanya sms itu. Rizqy bilang, "Haha engga kok, gapapa. Yodah."

'Sialan ni anak. Apa si maksudnya. Bodo ah, mau tau, tau dah lu.' pikir Qika pasrah.
Hari itu dilaluinya dengan perasaan extra super mega canggung dengan Rizqy, tapi, ya, Qika gamau mikir macem-macem dulu. Sampai waktu pulang sekolah tiba, Qika terbebas dari tatapan Rizqy dan situasi awkward-nya. 

***

Matahari terbenam, hari ini hampir habis. Qika dan Rizqy masih saja smsan, hingga waktu menunjukkan pukul 19.51 WIB, sms baru dari Rizqy masuk, Qika santai bukanya, sampe dia tau isi sms itu.
"Qik, gua mau nanya."
Deg. Jantung Qika berdegup lebih kencang dari biasanya, mati aku, mati. Jawab apa gua.. Qika lemes, takut dengan apa yang ngga dia ketahui, takut dengan apa yang akan Rizqy tanyakan padanya. Dibalesnya sms itu.
"Oy, apaan, tanya aja."
Tak dilepaskannya handphone-nya dari genggaman tangan kecilnya itu, harap-harap cemas tentang apa yang akan ditanyakan Rizqy, semoga cuman pertanyaan biasa, bukan pertanyaan yang aneh-aneh.

Semenit.
Dua menit.
Tiga menit.
Empat menit.
Lima menit,
Enam menit. 
Tujuh menit.
...
...
...
Lima belas menit berlalu.

Qika hampir putus asa dengan harapan sms balasan dari Rizqy. Handphone yang sedari tadi dipegangnya kini sudah melayang dan siap mendarat mulus di atas kasur, karena dilempar oleh Qika. Sesaat setelah handphonenya mendarat mulus, terdengar suara notif sms masuk. Segera dikejarnya handphone yang tadi ia lempar, dan buru-buru dilihatnya sms balasan dari Rizqy dengan perasaan yang tak tentu.

Deg.

"Qik, kamu mau ga, jadi pacar aku?"

Qika meloncat-locat di atas kasur. Kegirangan. Sebuah jawaban 'ya' segera dikirimnya.
Well, percaya gapercaya cuman 4 hari mereka deket, dan.. Ah entahlah..

***

Easy come, but, omg, I really don't know what'll happen next..

*** 

to be continued.

Minggu, 15 Juni 2014

Tahun Ajaran Baru

Hari itu hari pertama tahun ajaran baru. Aku masih sibuk ngurus adik-adik kelas awal yang masih membutuhkan pembinaan. Waktuku di kelas hanya sebentar, sesungguhnya keadaan ini cukup mengkhawatirkan, iyalah, aku duduk di bangku kelas akhir, sebentar lagi ujian nasional. Tapi, sebisa mungkin aku tetap menyempatkan diri untuk main di kelasku, walau hanya sekedar mengobrol atau bercanda sebentar.

Hari demi hari berlalu, hingga Senin itu adik kelas awal sudah tidak membutuhkan bimbingan dari kami, mereka sudah bisa memulai kegiatan belajar dengan guru bidang studi masing-masing. Kelasku sedang gaduh, tiba-tiba seorang guru masuk, guru kesehatan. Masuk untuk memberi tugas dan memberi teori, hari itu tidak turun ke lapang. Anak-anak langsung menduduki kursinya masing-masing dan bersiap untuk mendengarkan teori hari itu.

Ternyata tidak memberi teori, hanya memberi tugas saja, tugas ringan. Kemudian, disuruhnya kami untuk membuat struktur organisasi kelas. Kami disuruh mengumpulkam sebuah kertas yang telah digulung yang berisikan nama ketua kelas yang kami pilih. Aku terpilih. Tetapi aku tidak bisa, aku sudah mengikuti organisasi sekolah, sehingga aku tidak bisa menjadi pengurus kelas. Nama lain terpilih, dan dia disahkan menjadi ketua kelas kami untuk satu tahun.

***

Hari itu dia ada di sana. Di barisan sebrang. Di dalam satu ruangan yang sama. Menghirup udara yang sama. Dia, orang yang gapernah terpikirkan sekalipun dalam benakku untuk menjadi orang yang menghantuiku sekarang. Menghantuiku di hari-hari terakhir kita akan terpisah, meneruskan cita-cita, di sekolah yang berbeda, atau mungkin sama. 

Setelah try out persiapan ujian nasional terakhir dilaksanakan, aku bisa merasakan detak jantungku berdetak lebih kencang saat aku berada di dekatnya. Makin hari perasaan itu makin nyata. Dan makin hari kenyataan itu semakin terlihat, kita sebentar lagi berpisah. 

Tapi aku menyadari sesuatu, Rissa, sahabatku. Dia juga menaruh hati padamu. Bagai mendapat tamparan keras bertubi-tubi, aku kemudian tersadar. Sahabat macam apa aku ini. Sahabat makan sahabatnya sendiri? Sahabat yang jahat. Sejahat itukah aku pada Rissa? Rissa yang baik kepadaku, dan sekarang kubalas kebaikannya dengan menyukai seorang yang ia sayangi? Namun apa daya, perasaan ini sudah terlalu kuat. Aku tidak bisa melawannya. Maafkan aku, Rissa...

***

Aku gatau apakah aku yang terlalu ngenjoy waktu ato gimana, tapi ujian nasional dilaksanakan besok. Besok banget. Waktu kita bersama tinggal sebentar. Senin. Selasa. Rabu. Kamis. Kamis. Hari terakhir. Hari itu kamu sempet nanya jawaban ke aku, tapi gahoki ya kamu, 20 paket dan pengawas ngeliat ke arah aku mulu, gaberani jawab. Haha. Sesekali kulayangkan pandang ke arah Rissa yang menatap aku dan kamu dengan tatapan ganjil. Hatiku teriris melihat caranya menatap kita. Sedangkan yang kita lakukan hanya mengobrol biasa. Tatapan Rissa membuatku merinding dan ingin menangisi perbuatanku.

Kamis itu telah berakhir. Ujian nasional telah berakhir. Kami bebas. Kudengar beberapa teman kami akan mengadakan konvoi bersama dengan sekolah lain, ya ya ya, aku tak peduli mereka mau konvoi, mau mencorat-coret seragam, ataupun mau memblokir jalanan, aku tak peduli. Sepulang sekolah, masih sempat kutangkap pandangan Rissa yang menatap ke arahku dengan tatapan yang tidak mengenakkan hati. Tapi aku harus ngapain, aku gamau ribut sama Rissa, kulemparkan pandanganku ke arah yang lain. Menghindari tatapan Rissa. Setelah itu, kita berpisah sementara dan menganggur sebulan nungguin hasil ujian. Mampus aja aku, semakin jarang ketemu kamu. Yaudah aku bisa apa, diem aja akhirnya.

***

Pembagian hasil ujian akhirnya tiba, nilai aku sama nilai kamu gabeda jauh sebenernya. Kaya biasanya aja. Selalu kejar-kejaran. Kalo ga kamu rankingnya di atas aku, aku yang rankingnya di atas kamu. Selalu gitu, ganti-gantian. Tapi kali ini nilai aku lebih besar daripada kamu, walaupun nilai yang gapantes buat dibanggain. Aku gapercaya ranking kamu di bawah aku. Jauh di bawah aku. Aku mau nanya ke kamu kenapa bisa kaya gitu. Tapi aku bisa apa? Diem lagi. Lagian aku lagi gamau ngambil resiko ketauan merhatiin nilai kamu yang berarti merhatiin kamu juga.

Seminggu setelah pembagian nilai, kita wisuda. Kamu ganteng banget di hari itu, dengan setelan jas hitam dan kemeja putih, kamu jalan dengan santainya. Hati aku udah tertawa-tawa gembira melihat kehadiranmu. Ingin rasanya nyamperin kamu, terus aku bilang, "Sejak kapan kamu bisa seganteng ini? Bohong deng, kamu ganteg terus. Tiap hari. Hahaha."
PLAK. 
Tamparan keras tak terlihat melayang ke pipiku membuatku kembali ke kenyataan dan menyadari kalau itu hanyalah sebuah khayalan. Khayalan yang sangat gamungkin diwujudkan. Siapa kamu siapa aku, kita gapernah deket, ngobrol juga jarang. 

***

Detik demi detik. Menit demi menit. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan. Waktu terus berjalan. Kita sudah lama berpisah. Dan harapan itu sudah semestinya aku tinggalin di sana, di bangunan sekolah kita. Bersama kenangan-kenangan yang lain. Aku gamungkin ngarepin kamu terus. Kamu yang sekarang gatau di mana keberadaannya. Kamu yang sekarang cuman bisa aku liatin fotonya. Kamu yang kadang masih menghantuiku. Kamu yang gabisa jadi milikku.

Harapan terakhir hanyalah yang terbaik untukmu, semoga kita bisa bertemu lagi.
Sakit rasanya harus membuang perasaan ini jauh-jauh. Walau sebenernya untuk apa disimpan? Disimpan untukmu? Yang tak tau kapan kembali? Aku gabisa. Aku cape dihantuin sama kamu. Walau hingga saat ini aku masih menyayangimu..

***

Aku masih sayang kamu. Aku masih berharap kamu bakalan balik. Aku masih berharap kita bakalan ketemu. Hey kamu, aku kangen kamu. Aku kangen dijailin sama kamu. Aku kangen candaan kamu. Aku kangen suara kamu. Aku kangen senyum kamu. Aku kangen tatapan hangat kamu. 

You are irreplaceable, darl..

Rabu, 11 Juni 2014

Domino

Malam itu Juliet terdiam memandangi sebuah foto di dalam telepon genggam miliknya. Foto seorang lelaki. Lelaki sebayanya. Teman sekolahnya. Teman sekelasnya. Juliet termenung memikirkan kenapa harus lelaki itu. Lelaki yang tidak disangkanya menjadi lelaki yang disayangnya. Tiba-tiba tangannya tergerak untuk meng-capture foto lelaki itu. Ya, foto Romeo.

Seorang lelaki yang berhasil membuatnya move on dari sang mantan kekasih. Waktu yang cukup lama, sekitar 7 bulan, lucu sekali bukan. 7 bulan dihabiskannya untuk memikirkan lelaki yang sudah tidak memikirkannya lagi.

Setelah hari itu, Juliet semakin sering memikirkan Romeo. Memandangi fotonya. Dan tersenyum bodoh saat membaca percakapan dari Romeo di group chat kelasnya. 

Seminggu berlalu, Juliet dan teman-teman kelasnya yang sekarang berada di bangku kelas akhir sekolah menengah akan mengadakan perpisahan kelas yang diadakan di Malang. 

Selama kegiatan di Malang, matanya tak pernah terlepas dari Romeo. Mulai memperhatikan gerak-geriknya, dan mulai tersenyum bodoh dengan kepala yang tertekuk. Senyum bodoh diam-diam. Senyum bodoh yang kadang hanya tertahan di dalam hati.

Beberapa kali Juliet berhasil memperhatikan Romo tanpa sepengetahuannya. Sampai saat itu tiba, saat pertama kali Juliet sedang tersenyum bodoh di dalam hati seraya memperhatikan Romeo, dan tanpa sengaja Romeo melayangkan pandang ke arahnya juga. Membuat Juliet seketika menunduk, menyembunyikan pipinya yang merona merah.

Setelah kejadian itu, Juliet dan Romeo sering tak sengaja saling menatap. Saat Julit mencuri-curi kesempatan untuk memandanginya dari jauh. 

Akan tetapi, Juliet tau kalau Romeo sudah menaruh hati pada orang lain. Gimana sih rasanya, sayang sama orang, tapi orang itu sayang sama orang lain. Sehingga Juliet terus menekan rasa yang disimpannya untuk Romeo jauh di dalam hatinya.

--

Well, cerita itu gue. Ya. Gue. Gue banget. Kerjaan gue ngeliatin foto doi, mikirin doi, dan kemudian gue inget kalo doi udah punya kecengan. Apasih rasanya? Pernah ga sih lo kaya gitu? Pernah ga sih lo berada di posisi gue? 

Gue sayang sama dia, dia sayang sama orang lain. Kayak domino tauga, I fall for you and you fall for the other. Yakali tapi gue bisa apa? Ngomong di depan muka dia kalo gue sayang sama dia? Misi bunuh diri itumah. 

Gue deket sama dia aja ngga, gue chat sama dia aja ngga, gue ngapain? Cuman sebates sayang dan ngeliatin dari jauh. Ngeliat wajahnya aja seneng, tapi pas gue denger nama dia, gue langsung sakit.

Lo pernah denger lagunya The Script yang If You Could See Me now ga sih? 
They said, "I still look for your face in the crowd."

Yah yaudahlah ya, gini aja, sedih ya, ngga deng biasa aja. 
See you stalker!! 

-- 

If You Could See Me Now by The Script 


(Oh if you could see me now)

(Oh if you could see me now)

It was February 14 Valentine's Day
The roses came but they took you away
Tattooed on my arm is a charm to disarm all the harm
Gotta keep myself calm but the truth is you're gone
And I'll never get to show you these songs
Dad you should see the tours that I'm on
I see you standing there next to Mom
Both singing along, yeah arm in arm
And there are days when I'm losing my faith
Because the man wasn't good he was great
He'd say "Music was the home for your pain"
And explained I was young, he would say
Take that rage, put it on a page
Take the page to the stage
Blow the roof off the place
I'm trying to make you proud
Do everything you did
I hope you're up there with God saying "That's my kid!"

[Chorus:]
I still look for your face in the crowd
Oh if you could see me now (Oh if you could see me now)
Would you stand in disgrace or take a bow
Oh if you could see me now (Oh if you could see me now)

(Oh if you could see me now)

If you could see me now would you recognize me?
Would you pat me on the back or would you criticize me?
Would you follow every line on my tear-stained face
Put your hand on a heart that was cold
As the day you were taken away?
I know it's been a while but I can see you clear as day
Right now, I wish I could hear you say
I drink too much, and I smoke too much dutch
But if you can't see me now that shit's a must
You used to say I wont know a wind until it crossed me
Like I wont know real love 'til I've loved and I've lost it
So if you've lost a sister, someone's lost a mom
And if you've lost a dad then someone's lost a son
And they're all missing out, yeah they're all missing out
So if you get a second to look down on me now
Mom, Dad I'm just missing you now

I still look for your face in the crowd
Oh if you could see me now (Oh if you could see me now)
Would you stand in disgrace or take a bow
Oh if you could see me now (Oh if you could see me now)

Oh, oh
Would you call me a saint or a sinner?
Would you love me a loser or winner?
Oh, oh
When I see my face in the mirror
We look so alike that it makes me shiver

I still look for your face in the crowd
Oh if you could see me now (Oh if you could see me now)
Would you stand in disgrace or take a bow
Oh if you could see me now (Oh if you could see me now)
Yeah I'm just missing you now

I still look for your face in the crowd
Oh if you could see me now (Oh if you could see me now)
Would you stand in disgrace or take a bow
Oh if you could see me now (Oh if you could see me now)

If you could see, you could see me now [x2]