Minggu, 15 Juni 2014

Tahun Ajaran Baru

Hari itu hari pertama tahun ajaran baru. Aku masih sibuk ngurus adik-adik kelas awal yang masih membutuhkan pembinaan. Waktuku di kelas hanya sebentar, sesungguhnya keadaan ini cukup mengkhawatirkan, iyalah, aku duduk di bangku kelas akhir, sebentar lagi ujian nasional. Tapi, sebisa mungkin aku tetap menyempatkan diri untuk main di kelasku, walau hanya sekedar mengobrol atau bercanda sebentar.

Hari demi hari berlalu, hingga Senin itu adik kelas awal sudah tidak membutuhkan bimbingan dari kami, mereka sudah bisa memulai kegiatan belajar dengan guru bidang studi masing-masing. Kelasku sedang gaduh, tiba-tiba seorang guru masuk, guru kesehatan. Masuk untuk memberi tugas dan memberi teori, hari itu tidak turun ke lapang. Anak-anak langsung menduduki kursinya masing-masing dan bersiap untuk mendengarkan teori hari itu.

Ternyata tidak memberi teori, hanya memberi tugas saja, tugas ringan. Kemudian, disuruhnya kami untuk membuat struktur organisasi kelas. Kami disuruh mengumpulkam sebuah kertas yang telah digulung yang berisikan nama ketua kelas yang kami pilih. Aku terpilih. Tetapi aku tidak bisa, aku sudah mengikuti organisasi sekolah, sehingga aku tidak bisa menjadi pengurus kelas. Nama lain terpilih, dan dia disahkan menjadi ketua kelas kami untuk satu tahun.

***

Hari itu dia ada di sana. Di barisan sebrang. Di dalam satu ruangan yang sama. Menghirup udara yang sama. Dia, orang yang gapernah terpikirkan sekalipun dalam benakku untuk menjadi orang yang menghantuiku sekarang. Menghantuiku di hari-hari terakhir kita akan terpisah, meneruskan cita-cita, di sekolah yang berbeda, atau mungkin sama. 

Setelah try out persiapan ujian nasional terakhir dilaksanakan, aku bisa merasakan detak jantungku berdetak lebih kencang saat aku berada di dekatnya. Makin hari perasaan itu makin nyata. Dan makin hari kenyataan itu semakin terlihat, kita sebentar lagi berpisah. 

Tapi aku menyadari sesuatu, Rissa, sahabatku. Dia juga menaruh hati padamu. Bagai mendapat tamparan keras bertubi-tubi, aku kemudian tersadar. Sahabat macam apa aku ini. Sahabat makan sahabatnya sendiri? Sahabat yang jahat. Sejahat itukah aku pada Rissa? Rissa yang baik kepadaku, dan sekarang kubalas kebaikannya dengan menyukai seorang yang ia sayangi? Namun apa daya, perasaan ini sudah terlalu kuat. Aku tidak bisa melawannya. Maafkan aku, Rissa...

***

Aku gatau apakah aku yang terlalu ngenjoy waktu ato gimana, tapi ujian nasional dilaksanakan besok. Besok banget. Waktu kita bersama tinggal sebentar. Senin. Selasa. Rabu. Kamis. Kamis. Hari terakhir. Hari itu kamu sempet nanya jawaban ke aku, tapi gahoki ya kamu, 20 paket dan pengawas ngeliat ke arah aku mulu, gaberani jawab. Haha. Sesekali kulayangkan pandang ke arah Rissa yang menatap aku dan kamu dengan tatapan ganjil. Hatiku teriris melihat caranya menatap kita. Sedangkan yang kita lakukan hanya mengobrol biasa. Tatapan Rissa membuatku merinding dan ingin menangisi perbuatanku.

Kamis itu telah berakhir. Ujian nasional telah berakhir. Kami bebas. Kudengar beberapa teman kami akan mengadakan konvoi bersama dengan sekolah lain, ya ya ya, aku tak peduli mereka mau konvoi, mau mencorat-coret seragam, ataupun mau memblokir jalanan, aku tak peduli. Sepulang sekolah, masih sempat kutangkap pandangan Rissa yang menatap ke arahku dengan tatapan yang tidak mengenakkan hati. Tapi aku harus ngapain, aku gamau ribut sama Rissa, kulemparkan pandanganku ke arah yang lain. Menghindari tatapan Rissa. Setelah itu, kita berpisah sementara dan menganggur sebulan nungguin hasil ujian. Mampus aja aku, semakin jarang ketemu kamu. Yaudah aku bisa apa, diem aja akhirnya.

***

Pembagian hasil ujian akhirnya tiba, nilai aku sama nilai kamu gabeda jauh sebenernya. Kaya biasanya aja. Selalu kejar-kejaran. Kalo ga kamu rankingnya di atas aku, aku yang rankingnya di atas kamu. Selalu gitu, ganti-gantian. Tapi kali ini nilai aku lebih besar daripada kamu, walaupun nilai yang gapantes buat dibanggain. Aku gapercaya ranking kamu di bawah aku. Jauh di bawah aku. Aku mau nanya ke kamu kenapa bisa kaya gitu. Tapi aku bisa apa? Diem lagi. Lagian aku lagi gamau ngambil resiko ketauan merhatiin nilai kamu yang berarti merhatiin kamu juga.

Seminggu setelah pembagian nilai, kita wisuda. Kamu ganteng banget di hari itu, dengan setelan jas hitam dan kemeja putih, kamu jalan dengan santainya. Hati aku udah tertawa-tawa gembira melihat kehadiranmu. Ingin rasanya nyamperin kamu, terus aku bilang, "Sejak kapan kamu bisa seganteng ini? Bohong deng, kamu ganteg terus. Tiap hari. Hahaha."
PLAK. 
Tamparan keras tak terlihat melayang ke pipiku membuatku kembali ke kenyataan dan menyadari kalau itu hanyalah sebuah khayalan. Khayalan yang sangat gamungkin diwujudkan. Siapa kamu siapa aku, kita gapernah deket, ngobrol juga jarang. 

***

Detik demi detik. Menit demi menit. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan. Waktu terus berjalan. Kita sudah lama berpisah. Dan harapan itu sudah semestinya aku tinggalin di sana, di bangunan sekolah kita. Bersama kenangan-kenangan yang lain. Aku gamungkin ngarepin kamu terus. Kamu yang sekarang gatau di mana keberadaannya. Kamu yang sekarang cuman bisa aku liatin fotonya. Kamu yang kadang masih menghantuiku. Kamu yang gabisa jadi milikku.

Harapan terakhir hanyalah yang terbaik untukmu, semoga kita bisa bertemu lagi.
Sakit rasanya harus membuang perasaan ini jauh-jauh. Walau sebenernya untuk apa disimpan? Disimpan untukmu? Yang tak tau kapan kembali? Aku gabisa. Aku cape dihantuin sama kamu. Walau hingga saat ini aku masih menyayangimu..

***

Aku masih sayang kamu. Aku masih berharap kamu bakalan balik. Aku masih berharap kita bakalan ketemu. Hey kamu, aku kangen kamu. Aku kangen dijailin sama kamu. Aku kangen candaan kamu. Aku kangen suara kamu. Aku kangen senyum kamu. Aku kangen tatapan hangat kamu. 

You are irreplaceable, darl..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar